Oleh:H.Rd.Lasmono Dyar
Melawan seseorang yang menurut pendapat kita tidak memenuhi selera kita sendiri, dan bisa mengakibatkan amarah serta rasa dendam, telah meliputi seluruh dunia akhir-akhir ini. Semua mempunyai perasaan terganggu oleh tindak-tanduk yang kita terima diluar struktur kita sendiri. Penyebab terjadinya rangsangan seperti itu, dirasakan selalu berada pada pihak diluar diri kita.
Tapi, didalam banyak kejadian, timbulnya suatu rangsangan yang mengakibatkan ketidak nyamanan pada diri kita, TIDAK PERNAH dicari penyebabnya yang mungkin ada pada diri sendiri. Kebanyakan orang akan selalu mencari suatu kesalahan, misalnya, pada pihak lain, tapi bukan pada tindakan diri sendiri yang bisa dikatakan telah melaksanakan p r o v o k a s i untuk menarik perhatian serta menyentuh perasaan orang lain, merangsang suatu tindakan yang disebut r e a k s i . Dan apapun provokasi itu, kita sendiri dalam banyak hal tidak menyadarinya, sehingga bila telah terjadi suatu bentrokan, dan menunjukan, bahwa sebenarnya kita yang bersalah, maka karena g e n g s i, kita tidak bakal mau mengakui, memohon maaf dan lainnya.
Perhatikan saja anak kecil yang telah memukul anak lain yang tak tahu menahu akan penyebab mengapa telah dipukul. Ternyata tindakannya salah, tapi akankah secara o t o m a t i s anak yang memukul tadi mempunyai pengertian untuk melaksakan mohon maaf itu kepada anak yang dipukulnya. Kejadian itu sering terjadi, dan selalu kelihatan, bahwa hal mohon maaf itu akan dengan susah payah ditimbulkan pada yang bersalah. Lagi-lagi g e n g s i yang memang tercipta dalam diri manusia menjadi penghalang, untuk melaksakannya dengan t u l u s hati dan juga r e l a. Dengan sendirinya harus mengorbankan rasa gengsi itu, bukan ? Ini peninjauan dari segi Fisik, dimana memohon atau memberikan maaf itu pada saat tatap muka.
Apa sebenarnya gengsi itu, yang seharusnya sudah terdidik secara dini pada anak-anak yang masih harus dikembangkan. Hal ini berhubungan erat dengan sifat r e n d a h d i r i atau Low Profile. Setiap manusia mempunyai suatu sifat dalam pengelolaan sub-sadarnya yang menyangkut system pertahanan diri didalam keadaan yang gawat untuk bertahan diri. Hal ini yang dinamakan ‘flight and fight’ respons atau respon lari dan melawan. Inilah yang dikembangkan oleh kekuatan EMOSI dengan segala macam tingkatannya termasuk antara lain elemen gengsi tersebut. Mengetahui serta mampu mengendalikan sifat elemen itu akan banyak faedahnya dan memberikan suatu kesadaran tuntas yang menyangkut pengenalan diri sendiri.
Kelihatan kini, bahwa tidak banyak orang yang benar-benar mengenal diri sendiri, karena yang mendidiknya juga tidak kenal akan dirinya, bukan ? Didalam suasana seperti itu, maka apa yang dapat diharapkan yang menyangkat mengenal diri itu. Pendidikan awal, sekali lagi, pendidikan dini itulah yang paling penting, sehingga gejolak emosi yang timbul kemudian hari, dan menguasai diri kita dapat dikendalikan dan dikontrol melalui n e t r a l i s a s i.
Banyak sekali diantara kita, yang belum pernah terdidik mengenai hal menguasai diri sendiri, yang artinya adalah menguasai e m o s i yang merupakan dorongan dahsyat dalam diri manusia pada umumnya. Tapi, mengapa dorongan itu selalu mengarah kepada hal membabi-buta yang menjadi negatif selalu? Nah, disini terletak pengetahuan mengenai diri sendiri yang antara lain bersangkutan dengan berbagai bentuk s i f a t yang tertumbuh bersamaan dengan segala bentuk pengaruh lain yang didapatnya didalam perkembangan j i w a yang didapat dari lingkungan.
Sifat seseorang, yang oleh banyak orang dikatakan ada sangkut pautnya dengan keturunan atau transmisi genetik, memang benar, tapi bahwa hal itu akan menjadi sesuatu yang tak dapat dirubah, adalah t i d a k b e n a r . Bagaimanakah lalu caranya untuk mengetahui serta merubah sifat-sifat yang banyak merugikan diri kita itu, ada pada System Silva dengan menggunakan teknik Menghilangakan sifat-sifat yang Merugikan. Hal ini merupakan kesempatan bagi kita, yang telah mengalami kerugian akibat dari sifat tanpa kendali tersebut. Tapi juga akan tergantung dari pengenalan diri sendiri serta pengakuan jujur dari kita akan hal tersebut.
Ini bisa dikatakan, bahwa didalam diri kita ada musuh didalam selimut. Hal itu merupakan kekurangan pengetahuan dari sifat-sifat diri sendiri. Renungkanlah hal itu dimana kita sedang berada pada kondisi santai yang dalam, dan semua sifat-sifat yang buruk akan timbul kepermukaan alias dapat dirasakan dengan tuntas.
Segala sesuatu yang bersifat buruk dan akan merugikan, terutama bagi diri sendiri, karena ada reaksi dari pihak lain bila sifat itu timbul pada diri kita, kini benar-benar dapat dihilangkan melalui cara netralisasi dengan tuntas. Mungkin ada baiknya, bila para pendidik mendalami soal yang penulis ungkapkan ini. Seorang pendidik, yang sifat diri sendiri tidak baik, dan ingin menjadi oendidik yang menyangkut orang lain, tidak akan berhasil secara sempurna, karena getaran dirinya akan mempengaruhi anak didiknya. Kebersihan akan sifat-sifat sendiri, sebelum mendidiknya kepada orang lain, kini sudah diketahui dan dimulai dengan suatu penyelidikan yang menyangkut mereka yang akan menjadi guru atau p e n d i d i k. Karena tidak mengetahui bagaimana terjadi suatu inter-aksi antar manusia tanpa adanya suatu hubungan v e r b a l dan f i s i k, maka kelengkapan suatu pendidikan tidak akan pernah bisa tercapai dengan mutlak.
Terdapatlah kini suatu kesimpulan yang jelas, bahwa segala sifat didalam diri kita yang menyangkut hal buruk, memberikan akibat suatu suasana yang sudah tentu sama tingkatannya, bahkan bisa jauh lebih buruk lagi. Ada saja yang membantah hal yang dikemukakan ini dengan mengatakan bahwa manusia sudah dilahirkan dengan sifat-sifat yang ada buruk- dan baiknya. Pertanyaannya kini adalah, apakah kita bisa hidup tenang dan tentram dengan sifat yang buruk itu? Apakah hal itu tidak akan memberikan kita efek re-aksi dari kenyataan timbal-balik dari pantauan HTBA?
Pelajarilah hal itu dengan seksama, para pembaca, dan janganlah menganggap apa yang penulis ungkapkan sebagai suatu hal yang tidak ada artinya. Inilah M u s u h yang sebenarnya, dan selalu s u l i t untuk diberantas, karena dia berada didalam diri sendiri, terselubung oleh sifat-sifat a r o g a n s i dan yang menjadikan kita kaku sekali didalam penanggulangannya, karena adanya, sekali lagi g e n g s i dan k e a n g k u h a n , sifat-sifat yang tidak pernah diperhatikan dengan seksama. Ada yang berpendapat, bahwa kita memerlukan sifat-sifat itu untuk jangan dianggap lemah. Justru kebilkannya adalah benar, karena kita tidak mampu mengendalikan sifat-sifat yang buruk itu.
Dengan sendirinya, kita akan terperangkap didalam sifat seperti itu, dan akan melanjutkan kehidupan kita dengan banyak mendapatkan rintangan-rintangan yang layaknya tidak semustinya ada, bukan ? Gengsi inipun selalu menjadi penyebab dari keangkuhan yang merupakan pintu tertutup bagi niat suatu pemberian m a a f ataupun permohonan maaf. Bila berbuat hal yang menyimpang yang biasanya menuju kepada sesuatu yang bersalah, seharusnya kita sudah bisa merasakan hal itu dan akan berbuat untuk menetralisir timbulnya arogansi serta keangkuhan tersebut.
Hal yang dikemukakan tadi merupakan kebalikan dari hal k e h a r m o n i s a n yang didambakan akan bisa berkembang didalam lingkungan kekeluargaan baik yang kecil maupuan yang besar dan bisa memasyarakat. Apakah hal ini terlewat dari pandangan kita sebagai manusia yang bisa ditanggapi sebagai sosok yang u t u h ?
H.Rd. Lasmono Abdulrify Dyar Dipl.Sys.Ing., Ph.D adalah Guru Besar dan Direktur Metode Silva Untuk Indonesia, yang berpusat di Laredo - Texas - United States of America
No comments:
Post a Comment