Saturday, December 02, 2006

PELAJARAN DARI MAMA"HELVY"

Seorang lelaki dan gadis kecil kurus berdiri di hadapan saya. Wajah keduanya dipenuhi airmata. Tampak betul mereka ingin tersenyum, namun gejolak rasa di batin, justru membuat butiran bening itu terus mengalir. Lelaki itu Mugi Santoso, siswa SMPN Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur. Tak jauh di dekatnya adalah Siti Rahmawati, siswi SMPN 2 di pelosok Nusa Tenggara Barat. Saya memanggil mereka dengan nama: kegigihan.

Ingin menjadi orang berarti, begitulah impian besar mereka. Berarti bagi siapakah? "Diri saya, keluarga dan negeri ini, juga di hadapanNya," lirih mereka.

Mugi besar di desa. Ayahnya hanya buruh tani yang kemudian bekerja di suatu bengkel kecil. Sehari-hari Mugi rajin membantu ayah, mencari kayu bakar di hutan, untuk dijual atau dipakai sendiri. Pergi sekolah berjalan kaki dan selalu tak memiliki uang untuk membeli buku-buku pelajaran. Kala desanya dilanda wabah kolera, ia pernah jatuh sakit. Ia bangkit ketika melihat asa di mata orangtua dan adik-adiknya serta bertekad untuk kuat lahir batin. Untuk menjadi yang terbaik dalam keterbatasan.

Rahma ditinggal orangtua sejak kecil dan hidup bersama neneknya yang sudah sangat tua serta sakit-sakitan. Membantu sang nenek menimba air, berjualan dan mencari kayu adalah pekerjaannya sehari-hari. Dalam keterbatasannya ia melihat kemungkinan itu: menjadikan kemiskinan sebagai cambuk untuk berdiri, berlari menuju pelangi. Cita-cita yang semua orang bilang, hanya bagai di awan baginya.

Mereka berdua bersama 63 murid SMP/ Mts lainnya diundang ke Jakarta sebagai finalis Lomba Mengarang untuk Siswa SMP/ Mts Tingkat Nasional, 21-23 November lalu. Mereka harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan juri berkaitan dengan karangan mereka yang bertema: Belajarku Masa Depanku..

Ketika sebagian besar teman-teman lainnya lancar bertutur, Rahma nyaris tak bisa bicara. Ia pertama kali menjawab pertanyaan juri dengan airmata. Ah, anak desa dari NTB yang belum terbiasa berhadapan dengan banyak orang dan menyimpan semua resahnya di batin sendiri. Terbata-bata ia menjelaskan bahwa yang ia tulis, hanyalah tentang dirinya. Bahkan kiat-kiat yang ia sarankan dalam karangan itu, adalah untuknya semata.

Mugi menjawab semua pertanyaan dengan sedikit terbata. "Karangan itu adalah diri saya," katanya tanpa senyum. Anak desa, miskin, yang tak henti berjuang untuk bisa terus sekolah. "Insya Allah saya bisa menjalankan semua, bila saya mau berusaha dan bersama Allah," katanya, sambil menunduk.

Dalam sidang penentuan, 18 juri berdebat memilih yang terbaik. Saya memilih Mugi dan Rahma sebagai Juara I dan II versi saya. Waktu itu saya belum tahu siapa mereka.

"Tapi dalam presentasi mereka tidak lancar," kata salah satu juri.

"Ini lomba mengarang, bukan bicara. Yang kita nilai dari wawancara hanya memastikan orisinalitas karya," ujar saya.

Perdebatan berlarut-larut. "Tapi banyak yang bagus sekali dan cerdas cara bicaranya."

Saya menghela napas panjang. "Bagaimana dengan anak SMP yang berasal dari desa terpencil? Mereka tidak biasa bicara depan umum. Masak mau disamakan dengan anak Jakarta dan kota besar lainnya? Ingat, karya tulisnya tetap lebih utama," tutur saya. "Lagi pula, banyak lho penulis yang tidak lancar bicara. Banyak pula pembicara handal yang tak lancar menulis," tambah saya.

Mugi akhirnya memang menjadi Juara I tapi Rahma terlempar di Harapan I. Juri memang bukan hanya saya.

Malam itu saya pandang lagi Mugi dan Rahma yang bahkan tampak bingung mengekspresikan kemenangan mereka. Saya tersenyum. Saya hampiri mereka. "Kalian harus terus menapaki jalan prestasi. Jangan pernah menyerah sebelum berjuang. Dan perjuangan itu telah kalian mulai dengan pena kecil kalian! Selamat ya.

Mereka tersenyum, mengangguk. Menggenggam erat karton tebal berisi tulisan Lima Juta dan Dua Setengah Juta Rupiah. Mata mereka basah. Mungkin mereka membayangkan bulan di wajah ayah dan nenek. Seperti apakah cahayanya?

Saya pun pulang membawa cerita baru bagi Faiz. "Ini cerita dari jalan kupu-kupu, Nak. Tentang Mas Mugi, tentang Kakak Rahma yang sangat tahu diri. Mereka masih akan terus mendaki dan mencari kupu-kupunya."

Faiz mendengar seksama. Binar mata Faiz malam itu, terbungkus kaca..., " Bunda, mereka hebat!"

SAYA SANGAT SUKA TULISAN MBK HELVY KALAU TEMAN-TEMAN MAU BACA KUNJUNGI SAJA SITUSNYA INI SALAH SATU TULISANNYA http://helvytr.multiply.com/journal



No comments: